Wanita
Bisu, Tuli, Buta dan Lumpuh Itu Adalah Ibunda Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin
Tsabit
Seorang
lelaki yang saleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota
Kufah. Tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh ke luar pagar sebuah kebun
buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah terbitlah
air liur Tsabit, terlebih-lebih di hari yang sangat panas dan di tengah rasa
lapar dan haus yang mendera. Maka tanpa berpikir panjang dipungut dan
dimakannyalah buah apel yang terlihat sangat lezat itu. Akan tetapi baru
setengahnya di makan dia teringat bahwa buah apel itu bukan miliknya dan dia
belum mendapat ijin pemiliknya.
Maka
ia segera pergi ke dalam kebun buah-buahan itu dengan maksud hendak menemui
pemiliknya agar menghalalkan buah apel yang telah terlanjur dimakannya. Di
kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja ia berkata, “Aku
sudah memakan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya”.
Orang itu menjawab, “Aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanya khadamnya yang
ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya”.
Dengan
nada menyesal Tsabit bertanya lagi, “Dimana rumah pemiliknya? Aku akan
menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini.” Pengurus
kebun itu memberitahukan, “Apabila engkau ingin pergi kesana maka engkau harus
menempuh perjalanan sehari semalam”.
Tsabit
bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada
orangtua itu, “Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun
rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa
seijin pemiliknya. Bukankah Rasulullah sudah memperingatkan kita lewat sabdanya
: “Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi
umpan api neraka.”
Tsabit
pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba disana dia langsung mengetuk
pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam
dengan sopan, seraya berkata, “Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur
makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu
sudikah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?” Lelaki tua yang ada di
hadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, “Tidak,
aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.” Tsabit merasa
khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka segera
ia bertanya, “Apa syarat itu tuan?” Orang itu menjawab, “Engkau harus mengawini
putriku !”
Tsabit
bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata,
“Apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang jatuh ke luar dari
kebunmu, aku harus mengawini putrimu ?” Tetapi pemilik kebun itu tidak
menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, “Sebelum
pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu.
Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang gadis
yang lumpuh !”
Tsabit
amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya,
apakah perempuan semacam itu patut dia persunting sebagai isteri gara-gara ia
memakan setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik
kebun itu menyatakan lagi, “Selain syarat itu aku tidak bisa menghalalkan apa
yang telah kau makan !”
Namun
Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, “Aku akan menerima pinangannya dan
perkawinannya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul
‘Alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku
kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan
aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta’ala”. Maka
pernikahanpun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan
menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkawinan usai, Tsabit dipersilahkan
masuk menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia
berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, karena
bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan
bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum?.”
Tak
dinyana sama sekali wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi menjadi
istrinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak
menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya.
Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu
menyambut uluran tangannya.
Tsabit
sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. “Kata ayahnya dia wanita tuli dan
bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti
wanita yang ada di hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga
mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku
dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula”, kata Tsabit dalam
hatinya. Tsabit berpikir mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan
dengan kenyataan yang sebenarnya ?
Setelah
Tsabit duduk disamping istrinya, dia bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku
bahwa engkau buta. Mengapa ?” Wanita itu kemudian berkata, “Ayahku benar,
karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah”. Tsabit bertanya
lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?” Wanita itu menjawab,
“Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang
yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu
dan lumpuh, bukan?” tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi
suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya.
Selanjutnya wanita itu berkata, “aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku
hanya mengunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta’ala saja. Aku juga
dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa
menimbulkan kegusaran Allah Ta’ala”.
Tsabit
amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat saleh dan wanita yang akan
memelihara dirinya dan melindungi hak-haknya sebagai suami dengan baik. Dengan
bangga ia berkata tentang istrinya, “Ketika kulihat wajahnya?Subhanallah, dia
bagaikan bulan purnama di malam yang gelap”.
Tsabit
dan istrinya yang salihah dan cantik rupawan itu hidup rukun dan berbahagia.
Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan
hikmah ke penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar